Sabtu, 17 September 2016

LAPORAN PENDAHULUAN KATARAK PADA LANSIA




BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Katarak merupakan keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa, atau terjadi akibat keduanya. Katarak umumnya merupakan penyakit pada usia lanjut, akan tetapi dapat juga akibat kelainan kongenital, atau penyakit mata lokal menahun. Pada proses penuaan, lensa secara bertahap kehilangan air dan mengalami peningkatan dalam ukuran dan densitasnya. Peningkatan densitas diakibatkan oleh kompresi sentral serat lensa yang lebih tua. Serat-serat lensa yang padat lama-lama menyebabkan hilangnya transparasi lensa yang tidak terasa nyeri dan sering bilateral. Selain itu, berbagai penyebab katarak di atas menyebabkan gangguan metabolisme pada lensa mata. Gangguan metabolise ini, menyebabkan perubahan kandungan bahan-bahan yang ada di dalam lensa yang pada akhirnya menyebabkan kekeruhan lensa. Pada penderita katarak umumnya mengeluh pandangan menjadi rabun sehingga timbul masalah keperawatan penurunan persepsi sensori: penglihatan.
Saat ini terdapat 45 juta penderita kebutaan di dunia, 60% diantaranya berada di negara miskin atau berkembang. Ironisnya Indonesia menjadi Negara tertinggi di Asia Tenggara dengan angka sebesar 1,5%. Menurut Spesialis Mata dari RS Pondok Indah Dr Ratna Sitompul SpM, tingginya angka kebutaan di Indonesia disebabkan usia harapan hidup orang Indonesia semakin meningkat, karena beberapa penyakit mata disebabkan proses penuaan. Artinya semakin banyak jumlah penduduk usia tua, semakin banyak pula penduduk yang berpotensi mengalami penyakit mata. Hingga kini penyakit mata yang banyak ditemui di Indonesia adalah katarak (0,8%), glukoma (0,2%) serta kelainan refraksi (0,14%). Selama ini katarak banyak diderita mereka yang berusia tua. Hal ini diperkuat berdasarkan data dari Departemen Kesehatan Indonsia (Depkes) bahwa 1,5 juta orang Indonesia mengalami kebutaan karena katarak dan rata - rata diderita yang berusia 40 - 55 tahun. Penderita rata - rata berasal dari ekonomi lemah sehingga banyak diantara mereka tidak tersentuh pelayanan kesehatan. Dan kebanyakan katarak terjadi karena proses degeneratif atau semakin bertambahnya usia seseorang. Bahkan, dari data statistik lebih dari 90 persen orang berusia di atas 65 tahun menderita katarak, sekitar 55 persen orang berusia 75 - 85 tahun daya penglihatannya berkurang akibat katarak (Irawan, 2008).
Menurut Mansjoer (2000), penyebab terjadinya katarak bermacam-macam. Umumnya adalah usia lanjut (katarak senil), tetapi dapat terjadi secara kongenital akibat infeksi virus di masa pertumbuhan janin, genetik, dan gangguan perkembangan. Dapat juga terjadi karena traumatik, terapi kortikosteroid metabolik, dan kelainan sistemik atau metabolik, seperti diabetes mellitus, galaktosemia, dan distrofi miotonik. Rokok dan konsumsi alkohol meningkatkan resiko katarak. Lensa mata mengandung tiga komponen anatomis. Pada zona sentral terdapat nukleus, di perifer ada korteks, dan yang mengelilingi keduanya adalah kapsul anterior dan posterior. Dengan bertambahnya usia, nucleus mengalami perubahan warna menjadi coklat kekuningan. Disekitar opasitas terdapat densitas seperti duri di anterior dan posterior nukleus. Opasitas pada kapsul posterior merupakan bentuk katarak yang paling bermakna, nampak seperti kristal salju pada jendela. Bila katarak dibiarkan maka akan terjadi komplikasi berupa glaucoma dan uveitis. Namun jika ditangani dengan pembedahan kemungkinan dapat juga menimbulkan dampak yaitu hilangnya vitreous, prolaps iris, endoftalmitis, astigmatisme pascaoperasi, edema makular sistoid, ablasio retina, opasifikasi kapsul posterior, resiko iritasi dan infeksi. Sedangkan apabila masalah penurunan persepsi sensori: penglihatan yang dapat muncul akibat katarak tidak ditangani maka dapat mengganggu aktivitas pasien dan meningkatkan risiko terjadinya cidera fisik.
Satu terapi yang paling tepat untuk menangani katarak adalah pembedahan. Operasi katarak terdiri dari pengangkatan sebagian lensa besar dan pengantian lensa dengan implan plastik. Jenis pembedahan untuk katarak mencakup extracapsular cataract extractie (ECCE) dan intracapsular cataract extractie (ICCE). Sedangkan cara untuk mengatasi masalah penurunan persepsi sensori: penglihatan dapat dilakukan yaitu dengan 1) tentukan ketajaman penglihatan, catat apakah satu atau keduanya terlibat, 2) orientasikan pasien terhadap lingkungan, staf, orang lain diareanya, 3) observasi tanda-tanda dan gejala-gajala disorientasi ; pertahankan pagar tempat tidur sampai benar-benar sembuh dari anestesia, 4) dorong orang terdekat tinggal dengan pasien, 5) perhatikan tentang suram atau penglihatan kabur dan iritasi mata, dimana dapat terjadi bila menggunakan tetes mata, 6) ingatkan pasien bila menggunakan kacamata katarak yang tujuannya memperbesar kurang lebih 25%, penglihatan perifer hilang , dan buta titik mungkin ada, 7) letakkan barang yang dibutuhkan /posisi bel pemanggil dalam jangkauan pada sisi yang tak dioperasi.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, masalah dalam makalah ini dirumuskan menjadi empat pertanyaan.
1.      Bagaimana karakteristik pasien dengan katarak yang mengalami masalah penurunan persepsi sensori: penglihatan?
2.  Diagnosa keperawatan apa saja yang muncul pada pasien dengan katarak?
3. Bagaimana intervensi yang direncanakan untuk mengatasi masalah penurunan persepsi sensori: penglihatan?
4.   Bagaimana evaluasi yang didapat setelah dilakukan tindakan keperawatan pada pasien dengan penurunan persepsi sensori: penglihatan?

1.3  Tujuan
1.3.1        Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan asuhan keperawatan ini adalah mahasiswa mampu melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan katarak.
1.3.2        Tujuan Khusus
Tujuan khusus penulisan asuhan keperawatan ini yaitu agar mahasiswa mampu:
1.    menjelaskan karakteristik pasien yang mengalami penurunan persepsi sensori: penglihatan;
2.   menjelaskan diagnose keperawatan yang muncul pada pasien dengan katarak;
3. merencanakan intervensi keperawatan untuk mengatasi masalah penurunan persepsi sensori: penglihatan;
4. menjelaskan evaluasi yang didapat setelah dilakukan tindakan keperawatan pada pasien dengan masalah penurunan persepsi sensori: penglihatan.


BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1  Konsep Katarak
2.1.1        Pengertian Katarak
Katarak adalah opasitas lensa kristalina yang normalnya jernih. Biasanya terjadi akibat proses penuaan tapi dapat timbul pada saat kelahiran (katarak kongenital). Dapat juga berhubungan dengan trauma mata tajam maupun tumpul, penggunaan kortikosteroid jangka panjang, penyakit sistemik, pemajanan radiasi, pemajanan yang lama sinar ultraviolet, atau kelainan mata lain seperti uveitis anterior (Suzzane C Smeltzer, 2002).
Menurut Corwin (2001), katarak adalah penurunan progresif kejernihan lensa. Lensa menjadi keruh atau berwarna putih abu-abu, dan ketajaman penglihatan berkurang. Katarak terjadi apabila protein-protein lensa yang secara normal transparan terurai dan mengalami koagulasi.
Sedangkan menurut Mansjoer (2000), katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (panambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa, atau akibat kedua-duanya. Biasanya mengenai kedua mata dan berjalan progresif.
Jadi, dapat disimpulkan katarak adalah kekeruhan lensa yang normalnya transparan dan dilalui cahaya menuju retina, dapat disebabkan oleh berbagai hal sehingga terjadi kerusakan penglihatan.

2.1.2        Etiologi Katarak
Menurut Mansjoer (2000), penyebab terjadinya katarak bermacam-macam. Umumnya adalah usia lanjut (katarak senil), tetapi dapat terjadi secara kongenital akibat infeksi virus di masa pertumbuhan janin, genetik, dan gangguan perkembangan. Dapat juga terjadi karena traumatik, terapi kortikosteroid metabolik, dan kelainan sistemik atau metabolik, seperti diabetes mellitus, galaktosemia, dan distrofi miotonik. Rokok dan konsumsi alkohol meningkatkan resiko katarak.

2.1.3        Patofisiologi
Lensa yang normal adalah struktur posterior iris yang jernih, transparan, berbentuk seperti kancing baju dan mempunyai kekuatan refraksi yang besar. Lensa mengandung tiga komponen anatomis. Pada zona sentral terdapat nukleus, di perifer ada korteks, dan yang mengelilingi keduanya adalah kapsul anterior dan posterior. Dengan bertambahnya usia, nucleus mengalami perubahan warna menjadi coklat kekuningan. Disekitar opasitas terdapat densitas seperti duri di anterior dan posterior nukleus. Opasitas pada kapsul posterior merupakan bentuk katarak yang paling bermakna, nampak seperti kristal salju pada jendela.
Perubahan fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya transparansi. Perubahan pada serabut halus multipel (zunula) yang memanjang dari badan silier ke sekitar daerah diluar lensa, misalnya dapat menyebabkan penglihatan mengalamui distorsi. Perubahan kimia dalam protein lensa dapat menyebabkan koagulasi, sehingga mengabutkan pandangan dengan menghambat jalannya cahaya ke retina. Salah satu teori menyebutkan terputusnya protein lensa normal terjadi disertai influks air ke dalam lensa. Proses ini mematahkan serabut lensa yang tegang dan mengganggu transmisi sinar. Teori lain mengatakan bahwa suatu enzim mempunyai peran dalam melindungi lensa dari degenerasi. Jumlah enzim akan menurun dengan bertambahnya usia dan tidak ada pada kebanyakan pasien yang menderita katarak.
Katarak biasanya terjadi bilateral, namun memiliki kecepatan yang berbeda. Dapat disebabkan oleh kejadian trauma maupun sistemik, seperti diabetes. Namun kebanyakan merupakan konsekuensi dari proses penuaan yang normal. Kebanyakan katarak berkembang secara kronik ketika seseorang memasuki dekade ketujuh. Katarak dapat bersifat kongenital dan harus diidentifikasi awal, karena bila tidak terdiagnosa dapat menyebabkan ambliopia dan kehilangan penglihatan permanen. Faktor yang paling sering berperan dalam terjadinya katarak meliputi radiasi sinar ultraviolet B, obatobatan, alkohol, merokok, diabetes, dan asupan vitamin antioksidan yang kurang dalam jangka waktu lama (Smeltzer, 2002).


2.1.4        Manifestasi Klinik
Katarak didiagnosis terutama dengan gejala subjektif. Biasanya, pasien melaporkan penurunan ketajaman fungsi penglihatan, silau, dan gangguan fungsional sampai derajat tertentu yang diakibatkan karena kehilangan penglihatan tadi, temuan objektif biasanya meliputi pengembunan seperti mutiara keabuan pada pupil sehingga retina tak akan tampak dengan oftalmoskop. Ketika lensa sudah menjadi opak, cahaya akan dipendarkan dan bukannya ditransmisikan dengan tajam menjadi bayangan terfokus pada retina. Hasilnya adalah pandangan kabur atau redup, menyilaukan yang menjengkelkan dengan distorsi bayangan dan susah melihat di malam hari.
Pupil yang normalnya hitam, akan tampak kekuningan, abu-abu atau putih. Katarak biasanya terjadi bertahap selama bertahun-tahun , dan ketika katarak sudah sangat memburuk, lensa koreksi yang lebih kuat pun tak akan mampu memperbaiki penglihatan.
Orang dengan katarak secara khas selalu mengembangkan strategi untuk menghindari silau yang menjengkel yang disebabkan oleh cahaya yang salah arah. Misalnya, ada yang mengatur ulang perabotan rumahnya sehingga sinar tidak akan langsung menyinari mata mereka. Ada yang mengenakan topi berkelepak lebar atau kaca mata hitam dan menurunkan pelindung cahaya saat mengendarai mobil pada siang hari (Smeltzer, 2002).
Menurut Mansjoer (2000), pada katarak senil, dikenal 4 stadium yaitu: insipiens, matur, imatur, dan hipermatur.


INSIPIENS
MATUR
IMATUR
HIPERMATUR
KEKERUHAN
Ringan
Sebagian
Seluruh
Masif
CAIRAN LENSA
Normal
Bertambah
Normal
Berkurang
IRIS
Normal
Terdorong
Normal
Tremulans
BILIK MATA DEPAN
Normal
Dangkal
Normal
Dalam
SUDUT BILIK MATA
Normal
Sempit
Normal
Terbuka
SHADOW TEST
Negative
Postitif
Negative
Pseudopositif
PENYULIT
-
Glaucoma
-
Uveitis, Glaukoma

2.1.5        Klasifikasi Katarak
Menurut Dale Vaughan (2000), katarak dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
1.      Katarak terkait usia (katarak senilis)
Katarak senilis adalah jenis katarak yang paling sering dijumpai. Satusatunya gejala adalah distorsi penglihatan dan penglihatan yang semakin kabur.
2.      Katarak anak- anak
Katarak anak- anak dibagi menjadi dua kelompok, yaitu :
a.       Katarak kongenital, yang terdapat sejak lahir atau segera sesudahnya. Banyak katarak kongenital yang tidak diketahui penyebabnya walaupun mungkin terdapat faktor genetik, yang lain disebabkan oleh penyakit infeksi atau metabolik, atau beerkaitan dengan berbagai sindrom.
b.      Katarak didapat, yang timbul belakangan dan biasanya terkait dengan sebab-sebab spesifik. Katarak didapat terutama disebabkan oleh trauma, baik tumpul maupun tembus. Penyyebab lain adalah uveitis, infeksi mata didapat, diabetes dan obat.
3.       Katarak traumatic
Katarak traumatik paling sering disebabkan oleh cedera benda asing di lensa atau trauma tumpul terhadap bola mata. Lensa menjadi putih segera setelah masuknya benda asing karena lubang pada kapsul lensa menyebabkan humor aqueus dan kadang- kadang korpus vitreum masuk kedalam struktur lensa.
4.       Katarak komplikata
Katarak komplikata adalah katarak sekunder akibat penyakit intraocular pada fisiologi lensa. Katarak biasanya berawal didaerah sub kapsul posterior dan akhirnya mengenai seluruh struktur lensa. Penyakit- penyakit intraokular yang sering berkaitan dengan pembentukan katarak adalah uveitis kronik atau rekuren, glaukoma, retinitis pigmentosa dan pelepasan retina.
5.       Katarak akibat penyakit sistemik
Katarak bilateral dapat terjadi karena gangguan- gangguan sistemik berikut: diabetes mellitus, hipoparatiroidisme, distrofi miotonik, dermatitis atropik, galaktosemia, dan syndrome Lowe, Werner atau Down.
6.       Katarak toksik
Katarak toksik jarang terjadi. Banyak kasus pada tahun 1930-an sebagai akibat penelanan dinitrofenol (suatu obat yang digunakan untuk menekan nafsu makan). Kortokosteroid yang diberikan dalam waktu lama, baik secara sistemik maupun dalam bentuk tetes yang dapat menyebabkan kekeruhan lensa.
7.      Katarak ikutan
Katarak ikutan menunjukkan kekeruhan kapsul posterior akibat katarak traumatik yang terserap sebagian atau setelah terjadinya ekstraksi katarak ekstrakapsular.

2.1.6        Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang jarang diperlukan kecuali bila terdapat dugaan penyakit sistemik yang harus dieksklusi atau katarak telah terjadi sejak usia muda.
Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien katarak adalah pemeriksaan sinar celah (slitlamp), funduskopi pada kedua mata bila mungkin, tonometer selain daripada pemeriksaan prabedag yang diperlukan lainnya seperti adanya infeksi pada kelopak mata, konjungtiva, karena dapat komplikasi yang berat berupa panoftalmitis pasca bedah dan fisik umum.
Pada katarak sebaiknya dilakukan pemeriksaan tajam pengelihatan sebelum dilakukan pembedahan untuk melihat apakah kekeruhan sebanding dengan turunnya tajam pengelihatan.

2.1.7        Penatalaksanaan
Pembedahan dilakukan bila tajam penglihatan sudah menurun sedemikian rupa sehingga mengganggu pekerjaan sehari-hari atau bila telah menimbulkan penyulit seperti glaukoma dan uveitis (Mansjoer, 2000). Dalam bedah katarak, lensa diangkat dari mata (ekstraksi lensa) dengan prosedur intrakapsular atau ekstrakapsular. Ekstraksi intrakapsular yang jarang lagi dilakukan saat ini adalah mengangkat lensa in toto, yakni didalam kapsulnya melaui insisi limbus superior 140-1600. pada ekstraksi ekstrakapsular juga dilakukan insisi limbus superior, bagian anterior kapsul dipotong dan diangkat, nukleus diekstraksi dan korteks lensa dibuang dari mata dengan irigasi dan aspirasi atau tanpa aspirasi sehingga menyisakan kapsul posterior.
Fakofragmentasi dan fakoemulsifikasi dengan irigasi atau aspirasi (atau keduanya) adalah teknik ekstrakapsular yang menggunakan getaran- getaran ultrasonik untuk mengangkat nukleus dan korteks melalui insisi lumbus yang kecil (2-5 mm), sehingga mempermudah penyembuhan luka pasca operasi. Teknik ini kurang bermanfaat pada katarak senilis yang padat dan keuntungan insisi lumbus yang kecil agak berkurang jika dimasukkan lensa intraokuler.
Pada beberapa tahun silam, operasi katarak ekstrakapsular telah menggantikan prosedur intrakapsular sebagai jenis bedah katarak yang paling sering. Alasan utamanya adalah bahwa apabila kapsul posterior utuh, ahli bedah dapat memasukkan lensa intra okuler ke dalam kamera posterior. Insiden komplikasi pasca operasi seperti abasio retina dan edema makula lebih kecil bila kapsul posteriornya utuh.
Jika digunakan teknik insisi kecil, masa penyembuhan pasca operasi biasanya lebih pendek. Pasien dapat bebas rawat jalan pada hari operasi itu juga, tetapi dianjurkan untuk bergerak dengan hati- hati dan menghindari peregangan atau mengangkat benda berat selama sekitar satu bulan. Matanya dapat dibalut selama beberapa hari, tetapi kalau matanya terasa nyaman, balutan dapat dibuang pada hari pertama pasca operasi dan matanya dilindungi dengan kacamata. Perlindungan pada malam hari dengan pelindung logam diperlukan selama beberapa minggu. Kacamata sementara dapat digunakan beberapa hari setelah operasi, tetapi biasanya pasien melihat dengan cukup baik melalui lensa intraokuler sambil menantikan kacamata permanen.(Vaughan, 2000)

2.1.8        Komplikasi
Bila katarak dibiarkan maka akan terjadi komplikasi berupa glaucoma dan uveitis. Glaukoma adalah peningkatan abnormal tekanan intraokuler yang menyebabkan atrofi saraf optik dan kebutaan bila tidak teratasi (Doenges, 2000). Uveitis adalah inflamasi salah satu struktur traktus uvea (Smeltzer, 2002).
Sedangkan komplikasi yang dapat timbul jika dilakukan tindakan operasi adalah sebagai berikut.
1.      Hilangnya vitreous
Hal ini dapat terjadi apabila kapsul posterior mengalami kerusakan selama operasi, yang mengakibatkan gel vitreous dapat masuk ke dalam bilik anterior.
2.      Prolaps iris
Iris dapat mengalami protrusi melalui insisi bedah pada periode pasca operasi dini. Terlihat sebagai daerah berwarna gelap pada lokasi insisi, dan pupil mengalami distorsi. Keadaan ini membutuhkan perbaikan segera dengan pembedahan.
3.      Endoftalmitis
Komplikasi infektif ekstraksi katarak yang serius namun jarang terjadi (kurang dari 0,3%). Pasien datang dengan keluhan mata merah yang terasa nyeri, penurunan tajam pengelihatan (biasanya dalam beberapa hari setelah pembedahan), pengumpalan sel darah putih di bilik anterior.
4.      Astigmatisme pascaoperasi
Mungkin diperlukan pengangkatan jahitan kornea untuk mengurangi astigatisme kornea.
5.      Edema makular sistoid
Makula menjadi edema setelah pembedahan, terutama bila disertai hilangnya vitreous. Dapat sembuh seiring waktu namun dapat menyebabkan penurunan tajam penglihatan yang berat.
6.      Ablasio retina
Teknik-teknik modern dalam ekstraksi katarak dihubungkan dengan rendahya tingkat komplikasi ini. Tingkat komplikasi ini bertambah bila terdapat kehilangan vitreous.
7.      Opasifikasi kapsul posterior
Pada sekitar 20% pasien, kejernihan kapsul posterior berkurang pada beberapa bulan setelah pembedahan ketika sel epitel residu bermigrasi melalui permukaannya. Pengelihatan menjadi kabur dan mungkin didapatkan rasa silau.
8.      Resiko iritasi dan infeksi
Jika jahitan nilon halus tidak diangkat setelah pembedahan maka jahitan dapat lepas dalam beberapa bulan atau tahun setelah pembedahan dan mengakibatkan iritasi atau infeksi. Gejala hilang dengan pengangkatan jahitan.

2.2  Konsep Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Katarak
2.2.1        Pengkajian
Dalam melakukan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar utama dan hal yang penting di lakukan baik saat pasien pertama kali masuk rumah sakit maupun selama pasien dirawat di rumah sakit.
1.      Biodata
Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/ bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat dan nomor register.
2.      Riwayat kesehatan
a.       Keluhan utama
Penurunan ketajaman penglihatan dan silau.
b.      Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat kesehatan pendahuluan pasien diambil untuk menemukan masalah primer pasien, seperti: kesulitan membaca, pandangan kabur, pandangan ganda, atau hilangnya daerah penglihatan soliter. Perawat harus menemukan apakah masalahnya hanya mengenai satu mata atau dua mata dan berapa lama pasien sudah menderita kelainan ini. Riwayat mata yang jelas sangat penting. Apakah pasien pernah mengalami cedera mata atau infeksi mata?, penyakit apa yang terakhir diderita pasien?.
c.       Riwayat kesehatan sekarang
Eksplorasi keadaan atau status okuler umum pasien. Apakah ia mengenakan kacamata atau lensa kontak?, apakah pasien mengalami kesulitan melihat (fokus) pada jarak dekat atau jauh?, apakah ada keluhan dalam membaca atau menonton televisi?, bagaimana dengan masalah membedakan warna atau masalah dengan penglihatan lateral atau perifer?
d.      Riwayat kesehatan keluarga
Adakah riwayat kelainan mata pada keluarga derajat pertama atau kakek-nenek.
3.      Pemeriksaan fisik
Pada inspeksi mata akan tampak pengembunan seperti mutiara keabuan pada pupil sehingga retina tak akan tampak dengan oftalmoskop (Smeltzer, 2002). Katarak terlihat tampak hitam terhadap refleks fundus ketika mata diperiksa dengan oftalmoskop direk. Pemeriksaan slit lamp memungkinkan pemeriksaan katarak secara rinci dan identifikasi lokasi opasitas dengan tepat. Katarak terkait usia biasanya terletak didaerah nukleus, korteks, atau subkapsular. Katarak terinduksi steroid umumnya terletak di subkapsular posterior. Tampilan lain yang menandakan penyebab okular katarak dapat ditemukan, antara lain deposisi pigmen pada lensa menunjukkan inflamasi sebelumnya atau kerusakan iris menandakan trauma mata sebelumnya (James, 2005)
4.      Perubahan pola fungsi
Data yang diperoleh dalam kasus katarak, menurut Doenges (2000) adalah sebagai berikut :
a.       Aktivitas / istirahat
Gejala: Perubahan aktivitas biasanya/ hobi sehubungan dengan gangguan penglihatan.
b.      Makanan/ cairan
Gejala: Mual/ muntah.
c.       Neurosensori
Gejala: Gangguan penglihatan (kabur/tak jelas), sinar terang menyebabkan silau dengan kehilangan bertahap penglihatan perifer, kesulitan memfokuskan kerja dengan dekat/ merasa di ruang gelap. Perubahan kacamata/ pengobatan tidak memperbaiki penglihatan.
Tanda : Tampak kecoklatan atau putih susu pada pupil, hipersekresi air mata.
d.      Nyeri/ kenyamanan
Gejala : Ketidaknyamanan ringan/ mata berair.

2.      Pemeriksaan Diagnostik
Selain uji mata yang biasanya dilakukan menggunakan kartu snellen, keratometri, pemeriksaan lampu slit dan oftalmoskopi, maka A-scan ultrasound (echography) dan hitung sel endotel sangat berguna sebagai alat diagnostik, khususnya bila dipertimbangkan akan dilakukan pembedahan. Dengan hitung sel endotel 2000 sel/mm3, pasien ini merupakan kandidat yang baik untuk dilakukan fakoemulsifikasi dan implantasi IOL (Smeltzer, 2002).

2.2.2        Diagnosa Keperawatan
Menurut Amin Huda Nurarif & Hardhi Kusuma (2015), diagnose keperawatan yang dapat terjadi pada pasien dengan katarak adalah sebagai berikut.
1.      Ansietas b.d kehilangan pandangan komplet, jadwal pembedahan, atau ketidakmampuan mendapatkan pandangan
2.      Resiko infeksi b.d pertahanan primer dan prosedur invasive (bedah pengangkatan katarak)
3.      Resiko cidera b.d peningkatan tekanan intra orbital
4.      Nyeri akut b.d proses pembedahan
5.      Gangguan sensori persepsi visual b.d gangguan penerimaan sensori/status organ indra, lingkungan secara terapeutik dibatasi d/d menurunnya ketajaman, gangguan penglihatan, perubahan respons biasanya terhadap rangsang.

2.2.3        Intervensi
1.      Ansietas
Intervensi
Rasional
1.      Kaji tingkat ansietas, derajat pengalaman nyeri timbulnya gejala tiba-tiba dan pengetahuan kondisi ini.
2.      Berikan informasi yang akurat jujur. Diskusikan kemungkinan bahwa pengawasan dan pengobatan dapat mencegah kehilangan penglihatan tambahan.
3.      Dorong pasien untuk mengkui masalah dan mengekspresikan perasaan.
4.      Identifikasi sumber/orang yang menolong.
1.      Faktor ini mempengaruhi persepsi pasien terhadap ancaman diri potensial siklus ansietas, dan dapat mempengaruhi upaya medik untuk mengontrol TIO.
2.      Menurunkan ansietas sehubungan dengan ketidaktahuan harapan yang akan datang dan memberikan fakta untuk membuat pilihan informasi tentang pengobatan.
3.      Memberikan kesempatan untuk pasien menerima situasi  nyata mengklarifikasi salah konsepsi dan pemecahan masalah
4.      Memberikan keyakinan bahwa pasien tidak sendiri dalam menghadapi masalah.

2.      Resiko infeksi
Intervensi
Rasional
Mandiri:
5.      Diskusikan pentingnya mencuci tangan sebelum menyentuh/ mengobati mata.
6.      Gunakan/tunjukan teknik yang tepat untuk membersihkan mata dari dalam keluar dengan tisu basah/ bola kapas untuk tiap usap, ganti balutan , dan masukan lensa kontak bila menggunakan.
7.      Tekankan pentingnya tidak menyentuh /menggaruk mata yang dioperasi.
8.      Observasi /diskusikan tanda terjadinya infeksi contoh kemerahan , kelopak bengkak , drainase purulen. Indentifikasi tindakan kewaspadaan bila terjadi ISK.
Kolaborasi:
5.      Beri obat sesuai indikasi:
a.       Antibiotik (topikal, parenteral, atau subkonjungtival).
b.      Streoid.
Mandiri:
1.      Menurunkan jumlah bakteri pada tangan, mencegah kontaminasi area operasi.
2.      Teknik aseptik menurunkan resiko penyebaran bakteri dan kontaminasi silang.
3.      Mencegah kontaminasi dan kerusakan sisi operasi.
4.      Infeksi mata terjadi 2-3 hari setelah prosedur dan memerlukan upaya intervensi. Adanya ISK meningkatkan kontaminasi silang.
Kolaborasi:
1.      Sediakan topikal diguna setelah profilaksis, dimana terapi lebih agresif diperlukan bila terjadi infeksi. Catatan: Steriod mungkin ditambahkan pada antibiotik topikal bila pasien mengalami implantasi IOL.
2.      Digunakan untuk menurunkan inflamasi.

3.      Resiko cidera
Intervensi
Rasional
Mandiri:
1.      Diskusi apa yang terjadi pada pascaoperasi tentang nyeri, pembatasan aktivitas, penampilan, balutan mata.
2.      Beri pasien posis bersandar, kepala tinggi, atau mirng ke sisi yang tak sakit sesuai keinginan.
3.      Batasi aktivitas seperti menggerakkan kepala tiba-tiba, menggaruk mata , membongkok.
4.      Ambulasi dengan bantuan; berikan kamar mandi khusus bila sembuh dari anestesi.
5.      Dorong nafas dalam, batuk untuk bersihan paru.
6.      Anjurkan menggunakan teknik manajemen stres contoh, bimbingan imajinasi, visualisasi, nafas dalam dan latihan relaksasi.
7.      Pertahankan perlindungan mata sesuai indikasi.
8.      Minta pasien untuk membedakan antara ketidaknyamanan dan nyeri mata tajam tiba-tiba. Selidiki kegelisahan, disorientasi, gangguan balutan. Observasi hifema (perdarahan pada mata) pada mata dengan senter sesuai indikasi.
9.      Observasi pembengkakan luka, bilik anterior  kempes, pupil berbentuk buah pir.
Kolaborasi:
1.      Berikan obat sesuai indikasi:
c.       Antiemetik, contoh proklorperazin (Compazine)
d.      Beri obat sesuai indikasi: Asetazolamin (Diamox).
e.       Sikloplegis.
f.       Analgesik, contoh Empirin dengan kodein, asetaminofen (Tyenol).
Mandiri:
1.      Membantu mengurangi rasa takut dan meningkatkan kerja sama dalam pembatasan yang diperlukan.
2.      Istirahat hanya beberapa menit sampai beberapa jam pada bedah rawat jalan atau menginap semalam bila terjadi komplikasi.
3.      Menurunkan tekanan pada mata yang sakit, meminimalkan resiko perdarahan atau stres pada jahitan terbuka.
4.      Menurunkan stres pada area operasi/menurunkan TIO
5.      Memerlukan sedikit regangan daripada penggunaan pispot, yang dapat meningkatkan TIO.
6.      Meningkatkan relaksasi dan koping, menurunkan TIO.
7.      Digunakan untuk melindungi dari cedera kecelakaan dan menurunkan gerakan mata.
8.      Ketidak nyamanan mungkin karena prosedur pembedahan; nyeri akut menunjukkan TIO ddan/atau perdarahan, terjadi karena regangan atau tak diketahui penyebabnya (jaringan sembuh banyak vaskularisasi, dan kapiler sangat rentan).
9.      Menunjukkan proplaps iris atau ruptur luka disebabkan oleh kerusakan jahitan atau tekanan mata.
Kolaborasi
1.      Mual/muntah dapat meningkatkan TIO, memerlukan tindakan segera untuk mencegah cedera okuler.
2.      Diberikan untuk menurunkan TIO bila terjadi peningkatan
3.      Membatasi kerja enzim pada produksi akueus humor.
4.      Diberikan untuk melumpuhkan otot siliar untuk dilatasi dan istirahat iris setelah pembedahan bila lensa tidak terganggu.
5.      Digunakan untuk ketidaknyamanan ringan, meningkatkan istirahat/ mencegah gelisah, yang dapat mempengaruhi TIO.



4.      Nyeri akut
Intervensi
Rasional
1.      Bantu klien dalam mengidentifikasi tindakan penghilangan nyeri yang efektif.
2.      Jelaskan bahwa nyeri dapat akan terjadi sampai beberapa jam setelah pembedahan.
3.      Lakukan tindakan penghilanagn nyeri non invasif atau non farmakologik, seperti berikut;
a.       Posisi: tinggikan bagian kepala tempat tidur, berubah-ubah antara berbaring pada punggung dan pada sisi yang tidak dioperasi.
b.      Distraksi
c.       Latihan relaksasi
4.      Berikan dukungan tindakan penghilangan nyeri dengan aalgesik yang diresepkan.
5.      Beritahu doker jika nyeri tidak hilang setelah ½ jam pemberian obat, jika nyeri disertai mual atau jika anda memperhatikan drainase pada pelindung mata.
1.      Membantu dalam membuat diagnosa dan kebutuhan terapi.
2.      Nyeri post op dapat terjadi sampai 6 jam post op.
3.      Beberapa tindakan penghilang nyeri non invasif adalah tindakan mandiri yang dapat dilaksanakan perawat dalam usaha meningkatkan kenyamanan pada klien.
4.      Analgesik mambantu dalam menekan respon nyeri dan menimbulkan kenyamanan pada klien.
5.      Tanda ini menunjukkan peningaktan tekanan intra okuli (TIO) atau komplikasi lain.


5.      Gangguan sensori persepsi visual
Intervensi
Rasional
Mandiri
1.      Tentukan ketajaman penglihatan, catat apakah satu atau keduanya terlibat.
2.      Orientasikan pasien terhadap lingkungan, staf, orang lain diareanya.
3.      Observasi tanda-tanda dan gejala-gajala disorientasi ; pertahankan pagar tempat tidur sampai benar-benar sembuh dari anestesia.
4.      Pendengkatan dari sisi yang tak dioperasi, bicara dan menyentuh sering; dorong orang terdekat tinggal dengan pasien.
5.      Perhatikan tentang suram atau penglihatan kabur dan iritasi mata, dimana dapat terjadi bila menggunakan tetes mata.
6.      Ingatkan pasien bila menggunakan kacamata katarak yang tujuannya memperbesar kurang lebih 25%, penglihatan perifer hilang , dan buta titik mungkin ada.
7.      Letakkan barang yang dibutuhkan /posisi bel pemanggil dalam jangkauan pada sisi yang tak dioperasi.

Mandiri:
1.      Kebutuhan individu dan pilihan intervensi bervariasi sebab kehilangan penglihatan terjadi lambat dan progresif. Bila bilateral, tiap mata dapat berlanjut pada laju yang berbeda. Tetapi biasanya hanya saja satu mata diperbaiki per prosedur.
2.      Memberikan peningkatan kenyamanan dan kekeluargaan. Menurunkan cemas dan disorientasi pascaoperasi.
3.      Terbangun dalam lingkungan yang tidak dikenal dan mengalami keterbataasan penglihatan dapat mengakibatkan bingung pada orang tua. Menurunkan resiko jatuh bila pasien bingung/ tak kenal ukuran tempat tidur.
4.      Memberi rangsang sensori tepat terhadap isolasi dan menurunkan bingung.
5.      Gangguan penglihatan/ iritasi dapat berakhir 1-2 jam setelah tetesan mata tetapi secara bertahap menurun dengan penggunaan. Catatan: iritasi lokal harus dilaporkan ke dokter, tetapi jangan hentikan penggunaan obat sementara.
6.      Perubahan ketajaman dan kedalaman persepsi dapat menyebabkan bingung, penglihatan/ meningkatkan risiko cedera sampai pasien belajar untuk mengkompensasi.
7.      Memungkinkan pasien melihat objek lebih mudah dan memudahkan panggilan untuk pertolongan bila diperlukan.






DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Doengoes, Marilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3 Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapis FKUI.
Nurarif, Amin Huda & Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Edisi Revisi Jilid 2. Yogyakarta: Mediaction Publishing.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarthi. Edisi 8. Alih Bahasa Oleh Agung Waluyo. Jakarta: EGC.
Vaughan, Dale. 2000. Oftalmologi Umum. Alih Bahasa Jan Tambajong. Jakarta: Widya Medika.